Minggu, 18 April 2010

Sinopsis Negeri 5 Menara (Bab 13 - 16)

· Rangkuman

· Sepuluh Pentung

Sudah beberapa hari ini aku merasa seperti ada batu yang menekan di dadaku. Awalnya aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi tekanan di dada ini semakin terasa setiap aku melihat sampul surat Randai di atas lemariku.

Melihat aku banyak diam, Said dan Raja mencoba melucu dengan bahasa arab mereka yang patah patah. Sementara Dulmajid mengeluarkan simpanan cerita. Baso yang biasanya selalu sok serius kali ini mencoba melantunkan beberapa syair arab. Tapi, bagiku mereka seperti sedang mengigau.

Pikiranku tidak fokus kepada apa yang ku hadapi di PM. Padahal minggu ini aku punya banyak tugas : menulis teks pidato bahasa arab, menghapal beberapa judul mahfuzat, dan kehabisan baju bersih sehingga perlu mencuci.

Yang agak menghibur adalah kelas tambahan malam. Kelas malam biasanya digunakan untuk mengulang pelajaran tadi pagi dan mempersiapkan untuk besok.

Ustad Salman masuk kelas malam dengan membawa setumpuk buku tebal. Kami bersorak gembira. Baso yang aku lihat tidak begitu antusias karena sedang asyik Durusul Lughoh nya. Bagi kebanyakan kami, setiap tawaran untuk tidak membaca buku pelajaran selalu menyenangkan. Hasilnya malam ini kami kehilangan kantuk dan hanyut dengan semangat yang meletup letup.

Itulah gaya unik Ustad Salman, selalu mencari jalan kreatif supaya kami bersemangat. Dia membawa kami ke ranah berpikiran masa depan. Kami sekelas dibakar oleh semangat hidup yang menggelegak. Yang paling ekspresif adalah Raja. Ia tampak mengayun ayunkan tinjunya di udara smabil berteriak “Allahu Akbar!” . Atang berkali kali bongkar pasang kacamata dari hidungnya, itu tandanya dia sedang excited. Said yang tadi heboh, sekarang duduk tegak lurus di bangkunya. Baso berkali kali menggeleng gelengkan kepala.

Malam ini adalah salah satu dari malam inspiratif yang digubah Ustad Salman. Apapun yang terjadi, jangankan sebuah surat dari Randai, serbuan dari Tyson, tidak akan aku izinkan menggoyahkan tekad dan cita citaku. Aku tulis tanda pentung sepuluh kali untuk menegaskan tekad ini, dan aku tulis Amin sebagai doa untuk memulai tekad ini.

· Maa Haaza

Pelajaran wajib yang selalu ada setiap hari, enam kali dalam seminggu adalah bahasa arab. Pelajaran pertama dimulai dengan kalimat sangat sederhana. Kami koor mengikuti kalimat tersebut walaupun belum yakin benar artinya. Setelah yakin semua orang terlibat, Ustad Salman menuliskan kalimat ini di papan tulis.

Secara acak dia mengulangi pertanyaan ke beberapa murid. Pengulangan dan teriakkan tadi adalah metode ampuh untuk menginternalisasi bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa yang bertahan lama. Mereka menyebut “direct method”.

Guru kami adalah Ustad Surur. Dia menyampaikan lembar lembar sejarah dengan gambar dan cerita yang membuat kami tidak berkedip. Dia bercerita tentang negeri negeri yang jauh dan ia juga menceritakan tentang daerah yang dekat.

Mata pelajaran Al-Quran dan Hadist juga dibawakan dengan amat menarik oleh Ustad Faris yang berasal dari Kalimantan. Kami belajar dari Ustad Faris bagaimana menyerap saripati ilmu, pengetahuan, kearifan, dan makna dari kalam Ilahi dan sabda Nabi. Hadist adalah rekaman perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad yang dilaporkan oleh umat Islam.

Aku sendiri sangat suka pelajaran kaligrafi arab. Kaligrafi tidak hanya bagaimana menulis abjad Arab dengan benar, tapi juga bagaimana menorehkannya dengan sabar, indah, dan konsisten. Hanya huruf alif dibuat dengan penghayatan.

Dari semua pelajaran, Bahasa Inggris adalah favoritku. Kelas pertama dimulai dengan monolog nonstop selama 5 menit dalam bahasa Inggris. Buku pelajaran kami adalah sebuah buku bacaan yang menggambarkan kehidupan sehari hari di Inggris. Ceritanya tentang seorang yang berjalan jalan di Kota London yang klasik, mengagumi Big Ben, melintasi lapangan Trafalgar Square, dan lainnya. Raja sangat terinspirasi pelajaran ini. Baso terus memperlihatkan kehebatannya di semua pelajaran, kecuali Reading.

Baso membaca bahasa Inggris seperti membaca Al Quran. Selain kelas dari pagi sampai siang 6 hari seminggu, kami mengikuti kelas tambahan pada sore hari, khususnya untuk bahasa Arab dan Inggris. Dari semua hari, hari yang paling mulia bagi kami adalah hari Jumat.

· Thank God It’s Friday

Jumat adalah hari libur mingguan kami di PM. Minggu dan Sabtu kami masuk kelas seperti biasa. Di hari Jumat kami boleh minta izin keluar dari kompleks untuk pelesir ke Ponorogo, Madiun dan tempat lain, asal bisa kembali lagi hari itu juga.

Hari Jumat ini, Said mengajak kami ke Sahibul Menara ke Ponorogo, Madiun dan tempat lain, asal bisa kembali lagi hari itu juga. Untuk refreshing. Aku bersama kawan kawan menuju KP untuk minta izin keluar. Tiba tiba Atang yang berjalan paling depan berhenti. Dia melirik ke meja perizinan di depan kantor pengasuhan. Ternyata guru yang sedang piket saat itu adalah Ustad Torik.

Dialah orang yang paling tidak kami harapkan duduk di meja perizinan hari ini. Menurut rumor di kalangan murid lama, dia merekam semuanya yang dilihatnya seperti memotret. Dengan penuh kemenangan, kami keluar dari gerbang PM. Rasanya udara pagi lebih segar daripada biasa. Kami menyewa sepeda ontel dari rumah penduduk sampai Ponorogo yang berjarak sekitar 20 kilometer.

Tidak terasa kebebasan itu cepat berlalu. Sudah jam 4 sore dan kami punya waktu 1 jam lagi untuk kembali ke meja Ustad Torik. Kami sampai di meja Ustad Torik pada pukul 5:05. Terlambat 5 menit. Kami berdiri kaku, kedinginan, dan cemas di depan Ustad Torik. Ia mengelilingi kami seperti singa lapar.

Lamat lamat, lonceng berdentang di luar. Waktunya ke masjid. Dia pasti segera mengambil keputusan. Ia memaafkan kami. Kami telat karena adanya hujan. Mungkin mood-nya sedang baik. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar